Hello everyone! So this will be the 2nd chapter of my "Finding Myself" post theme. Kali ini aku akan mengajak pembaca sekalian berdiskusi tentang salah satu isu terbesar yang akan dihadapi para Milenial di babak seperempat kehidupan mereka (aku juga). Just lately, I had a long conversation dengan beberapa teman Indonesia yang masih seusia dengan aku (24,25,26). Rata-rata dari kita tengah menghadapi masalah/ kegalauan/ kegundahan yang hampir-hampir sama. Ini yang bikin aku terus buka google dan mencari artikel tentang hal tersebut. Ternyata di kalangan kita sebagai kaum Milenial ini ada yang namanya "Quarter Life Crisis". Sebenernya apa sih ini? Nah, aku bakal menyimpulkan definisi dari semua artikel yang sudah kubaca dan berbagi perspektif tentang kegalauan di seperempat babak hidup kita ini kepada kalian semua.
Jadi, apa itu Quarter Life Crisis (QLC)? Dari beberapa definisi pakar psikologi bisa disimpulkan bahwa QLC ini adalah periode dimana munculnya perasaan stress atau tekanan yang intens tentang jati diri dan kualitas hidup kita. QLC ini melibatkan rasa cemas, rasa tidak aman, kekecewaan, kesepian, dan depresi berkenaan dengan jati diri, karir, hubungan (percintaan ataupun pertemanan) dan situasi keuangan. Krisis ini biasanya dirasakan oleh para young adults sekitar umur 20-30 tahun.
Kemudian, apa yang menyebabkan adanya QLC ini? Para ahli berpendapat bahwa faktor eksternal memiliki peran besar dalam memicu munculnya QLC. Perubahan keadaan lingkungan dan sosial banyak menjelaskan munculnya rasa cemas itu sendiri. Seperti tuntutan untuk dapat memulai hidup dengan mandiri (mencari kerja) selepas masa kuliah dan juga mencari tempat di antara kehidupan sosialnya. Beberapa ahli juga berpendapat bahwa tuntutan pada kehidupan nyata para milenials ini tidak selaras dengan benchmark "berkehidupan mandiri" yang di tetapkan oleh lingkungan sosial mereka yang cenderung masih tradisional seperti pernikahan, kepemilikan harta (rumah, tanah), karir yang jelas, dkk (orang Indonesia banget gak sih?).
Kenapa benchmark tersebut dikatakan tidak selaras dengan kaum milenials? Karena salah satu ciri utama dari kaum milenials adalah perlihan ke masa dewasa yang lebih panjang (atau tertunda) di banding kaum non-milenial atau sebelumnya. It makes a lot senses, sih! Dengan sumber informasi yang tak terbatas dan pemikiran yang lebih terbuka kaum milenials ini memiliki lebih banyak pilihan untuk di explore sebelum menetapkan arah dan tujuan hidup mereka. Jadi, di saat pada muda/mudi ini masih ingin mencari tau dan menjajal banyak hal, mereka sudah di tekan untuk memilih jalan yang akan mereka lalui for ther rest of their life, mereka harus muncul dengan rencana seumur hidup yang matang di saat mereka sendiri tidak yakin dengan hal tersebut dan kemampuan diri mereka untuk menekuninya.
Mengerucut terhadap muda-mudi Indonesia, age limit dan time limit untuk eksplorasi kita bisa dikatakan lebih pendek dari muda-mudi negara lain. Contoh nyata-nya ketika aku berdiskusi dengan teman-teman dari Eropa mereka berkata tidak ada age limit di negara-negara mereka dalam melamar pekerjaan, selagi si pelamar memiliki kualifikasi untuk melakukan pekerjaannya yang lain tidak menjadi masalah. Di Indonesia? Rata-rata pelamar dengan kualifikasi S1 diberi batas maksimal untuk melamar 24-28 tahun dan S2 33-35 tahun. Hahaha! Sesungguhnya para mahasiswa disini tengah kalang-kabut dengannya. Kemudian di negara-negara Asia Timur rata-rata umur dimana seseorang harus memiliki pilihan karir yang jelas adalah pada usia 30 tahun, sehingga dari umur 20-29 tahun mereka dapat mengekspor jalan karir dan minat mereka masing-masing. (Bukan mengeluh hanya membandingkan saja).
Contoh lainnya (hmmm...) Pernikahan. Khususnya untuk kaum perempuan, sebagian besar penduduk Indonesia menilai bahwa pencapaian utama seorang wanita ada disini. Sehingga, sebesar apapun prestasinya hal yang di tanyakan tetaplah sama "Kapan menikah?", "Calonnya mana?". Pertanyaan-pertanyaan ini biasanya mulai dikumandangankan saat si gadis lulus dari undergraduates school-nya atau sekitar umur 23 tahun ke atas. Untuk beberapa orang menemukan dan menentukan pasangan yang cocok untuk menghabiskan sisa hidup bersama itu tidak mudah, dan beberapa orang pula memiliki pemikiran lain untuk fokus terhadap perkembangan dan kemampuan dirinya terlebih dahulu. Tapi tuntutan untuk memenuhi kriteria kemapanan hidup tersebut membuat mereka sedikit diburu dalam membuat keputusan yang cepat dan (harusnya) tepat.
Contoh nyata lainnya dari segi pendidikan. Seperti, di saat teman-teman seusia sudah mulai berkarir dan menghasilkan uang, orang-orang yang memilih untuk menghabiskan sebagian lagi waktunya dalam memperlajari suatu ilmu akan merasakan sedikit kekhawatiran bahwa mereka berada dibarisan belakang dari kompetisi kehidupan. Ketika reuni dengan teman semasa kuliah dulu, mereka sudah mampu membeli apa yang mereka inginkan, si mahasiswa ini merasa hidupnya stagnan dan tidak menghasilkan apapun. (Tentu saja tidak saudara-saudara, tapi kalian tidak bisa mengontrol perasaan itu). Sangat alamiah bagi seorang manusia untuk membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.
Terus gimana dong? Apa yang harus kita lakukan ketika menghadapi masa-masa ini? Sambil tarik nafas, kalau kalian sedang merasakan hal yang sama. Pertama-tama mencari tau lebih banyak informasi tentang QLC ini banyak membantu. Ini bukan semacam penyakit psikologis (meski mungkin dapat mengarah ke hal tersebut jika reaksinya berlebih), dari artikel yang kubaca, ini lebih cenderung seperti tahapan kehidupan yang harus dilalui. Badai pasti berlalu guys (sambil ngomong ke diri sendiri). Tapi, aku mau share beberapa tips yang ku kumpulkan dari pengalaman orang-orang dan aku sendiri yang mungkin dapat berguna untuk kalian.
1. Dekatkan diri sama Tuhan.
Terutama kita sebagai warga Indonesia yang beragama, memperkaya sisi spiritualitas terbukti dapat meningkatkan ketenangan diri. Anggap saja ini adalah masa menunggu yang diberikan Tuhan untuk kalian. Percayalah bahwa setiap orang memiliki porsi rejekinya masing-masing. Ada yang karir dulu, percintaan dulu, edukasi dulu. Plus buat kalian yang beragama Islam seperti aku ingat ini:
Al Insyirah ayat 5-6 :
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan"
Dan Surat Al-Baqarah ayat 286 juga disebutkan bahwa Allah tidak akan menguji hamba-Nya di luar kemampuannya. Susah? Ya, namanya manusia inginnya mengeluh. Buat aku, mengeluh boleh aja, mungkin tke orang terdekat, tapi jangan terus-terusan ya. Cukup sekali untuk meringankan beban dihati atau mendengar masukan dari orang lain. Tapi habis itu harus kembali lagi kontrol hati untuk selalu berprasangka baik dengan rencana Tuhan.
2. Jangan suka membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Masih berkaitan dengan poin 1. Ya, setiap orang memiliki jalan rezekinya dan rencana masing-masing dari Tuhan. Boleh membandingkan diri untuk motivasi, tapi jangan terus-terusan. Kalau melihat ke sukses-an tetangga bikin kamu patah semangat dan malah timbul iri hati, lebih baik di STOP aja.
3. Stop trying to please others.
Ini sama aja dengan jangan sering-sering dengerin cibiran orang. Such as "Ngapain perempuan sekolah tinggi-tinggi, nanti susah dapet jodoh!!". Hidup kita tanggung jawab kita, yang menentukan kita bahagia adalah diri kita sendiri. Plus orang pasti akan selalu menemukan kekurangan dalam diri kita. Jangan sampai hal itu membuat kita juga melihat kurang terhadap diri kita. Semua orang punya kelebihan masing-masing, you can count on that. Bisa gila kalau kita mau bikin semua orang suka sama kita! Okay?
4. Memahami batasan dan kelemahan diri.
Tidak ada yang lebih memahami perasaan kita daripada kita sendiri. Mencoba mengalihkan perhatian dari kecemasan yang melanda baik untuk mencegah diri sendiri dari perasaan terpuruk yang berlebih. Misal dengan melakukan hobi, olahraga, atau karaoke 10 jam, yang penting perasaan frustasi itu dibisa di alihkan/ syukur-syukur di salurkan dengan baik. Dan kalau kalian surah merasa kecemasan dan kegelisahan kalian tersebut diluar batas wajar, segera cari bantuan dari orang terdekat.
5. Sering bertukar pikiran dengan orang yang lebih dewasa.
Berdiskusi atau bertukar pendapat dengan orang yang lebih dewasa, bisa membuka pikiran kita dan memberikan sudut pandang baru terhadapa masalah atau perasaan tidak aman yang kita tengah rasakan.
WOW! Tidak terasa menulisnya sudah panjang sekali! Kalau kalian ingin diskusi atau share juga seputar topik ini, silahkan tinggalkan komentar atau kirim pesan langsung lewat akun sosial media aku. Selamat berjuang untuk semua Single Fighters diluar sana! Semangat Selalu!!
1 comments
Ga tau kenapa setelah baca ini aku kaya ngomong sendiri "How lucky I am". Waktu baca aja pengen teriak sendiri setuju bgt sama artikelnya. Yah, menyemangati diri sendiri aja kalau emang bener QLC ini memang mau ga mau harus dilewatin dan yah udah harus bisa membentengi diri sendiri sama perkataan orang-orang. So, aku mau ngomong thx for making this useful article. Seenggaknya aku lega I'm not alone in this lost world lol
ReplyDelete