Hello everyone! Lama tidak berjumpa!
It has been a long time since my last post. Yup, ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupku selama beberapa waktu ke belakang. Ini sangat menyita pikiran, waktu, tenaga, dan menguji dengan sangat ketahanan hati. Berlebihan? Untuk beberapa orang bisa jadi yang sedang memberatkan pikiranku ini hanyalah hal sepele atau bahkan tidak terlihat seperti masalah sama sekali. Oke, berarti pikiran kalian belum terlalu terbuka untuk menerima banyak sudut pandang terhadap suatu topik. Kenapa aku bisa berkata seperti ini? Ya, karena aku juga seperti itu dulu, memiliki pemikiran yang sempit terhadap perspektif orang lain. Kalau masih ada bisikan seperti "Dia begitu saja galau", "Masalah dia tidak seberapa dibanding dengan masalahku", "Seperti itu saja dirasa susah", dan slentingan-slentingan bernada serupa, maka tandanya kamu masih tidak toleran dengan jalan pikir orang lain.
Tulisan ini bukan untuk menggurui ataupun menghakimi. Aku menulis ini simply untuk menceritakan pengalaman dan pendapatku tentang hal ini.
Semakin beranjak usia, semakin mendalami proses pendewasaan, semakin banyak menginjakan kaki di tempat-tempat baru, dan semakin banyaknya aku bertemu dengan orang-orang dengan latar dan kisah yang berbeda sesungguhnya semakin memberikan aku kesempatan untuk mempelajari hal-hal yang baru yang terlewat. Ku temukan bahwa semakin aku membuka pikiranku untuk memahami orang lain, semakin pula aku memahami diriku. Rumit dan memakan waktu yang lama. Bahkan sampai sekarang aku masih ingin menggali yang bisa dapat kuketahui tentang 'being a human'. Lebih tepatnya 'being me'.
Sebelum memutuskan untuk menulis tentang ini, akhir-akhir ini aku banyak memperhatikan orang-orang di sekitarku. Apa yang membuat mereka bahagia, apa yang membuat mereka bersedih sembari menanyakan hal yang sama pada diriku sendiri. Apa yang membuatku bahagia dan apa yang membuatku bersedih? Ada beberapa waktu dimana teman-teman datang bercerita kepadaku tentang permasalahan mereka. Setelah aku membagi sudut pandang dan solusi dariku, tidak semua reaksi mereka merasa lega. Dari sana aku mulai berfikir apa yang salah dari logikaku menguraikan masalahnya? Ternyata ada satu hal yang terlewat dariku, aku lupa mempertimbangkan posisi mereka di dalam masalah tersebut. Jika aku berada di posisi mereka, apa yang bisa kulakukan?
"Semua masalah terlihat lebih mudah saat kamu memandangnya sebagai pihak ketiga (outsiders) bukan sebagai pihak pertama"
Kemudian keadaan berbalik di saat aku yang meminta pandangan terhadap masalahku. Saat orang lain memberi tanggapannya hal pertama yang muncul di kepalaku adalah "It's easy to say it". Mereka tidak tau bagaimana masalah ini sangat menggangguku. Di saat itu pula aku menyadari bahwa tidak ada beban/ masalah yang lebih berat atau lebih ringan. Setiap masalah memiliki beratnya tersendiri pada setiap orang, termasuk jika masalah itu adalah masalah yang sama. Contoh gampangnya seperti putus cinta. Bagi orang yang "romance" tidak memiliki porsi besar dalam tujuan hidup atau kebahagiannya putus cinta bukanlah masalah besar yang perlu kau sia-siakan tenaga waktu, dan pikiran dengannya, sehingga move on menjadi hal yang begitu mudah. Tapi bagi orang yang menjadikan romance sebagai faktor besar dalam hidupnya hasil yang cenderung terjadi adalah kesedihan yang berlarut-larut, trauma, hingga depresi. Atau jika seseorang merasa prestasi akademik menjadi hal yang penting dalam hidupnya makanya ia akan jauh lebih terpukul mendapat nilai IPK rendah di bandingkan dengan orang-orang yang tidak mementingkan hal tersebut.
Kenapa memahami perbedaan perspektif itu penting? Selain untuk menghargai jalan pikir dan perasaan orang lain, most importantly, kita belajar untuk menghargai diri kita sendiri. Aku menyadari hal ini saat mendengar celetukkan spontan adikku, "Kalau dia di kasih beban seperti kamu, di mungkin sudah g**a". Sedikit sarkastik, tapi jika dipikir-pikir kembali ada benarnya juga. Keteguhanku bertahan sampai di saat ini jugalah sebuah pencapaian. SELF APPRECIATION. Tidak berlebihan, cukup untuk mengingatkan dirimu bahwa kau pun kuat di saat kau merasa lemah. Cukup untuk membuatmu mencintai dirimu kembali saat kau mulai membenci dirimu.
Bagiku butuh banyak tahun terlewati hingga aku menemukan satu poin ini. Ini pencerahan yang berarti terlebih terhadap tipe pribadi yang selalu merasa insecure dengan dirinya sendiri. 'Am I good enough?', 'Did I do well enough?', 'Why am I so weak?'. Satu hal yang bisa kalian lakukan saat mempertanyakan diri kalian seperti ini adalah take a deep breath, lakukan hal apapun yang bisa menurunkan emosi atau rasa frustasimu yang memuncak saat itu seperti berteriak atau menangis. Beberapa teman menganjurkan untuk mendengarkan musik sedih hingga berlinang air mata, pergi ke tempat yang sepi dimana kamu bisa berteriak sekencang-kencangnya, atau jogging sampai tenagamu habis. Tapi setelah itu look at your own reflection dan katakan pada dirimu sendiri bahwa kau telah bekerja keras, bahwa kau telah berhasil melalui banyak hal hingga sampai ke tempatmu saat ini, bahwa tidak semua orang bisa bertahan sebaik dirimu diposisi yang sama. Begitu, kamu akan menghargai dirimu, usahamu, lebih baik. Seperti self-hypnotize ya jatuhnya, tapi kamu akan merasakan cara pandangmu terhadap masalahmu sendiri akan terbuka sedikit demi sedikit, bahwa kekhawatiranmu akan berkurang sedikit demi sedikit. Berproses.
Finally, kenapa aku memutuskan untuk menulis dengan tema bertajuk "Finding Myself" ini. Sederhana, karena aku merasa sedang melakukan journey yang sama. One day, kata-kata "describe yourself" untuk pertama kali menjadi rumit bagiku. Biasanya saat tengah mengisi profile di akun sosial media atau kolom alumni tidak butuh 2 kali berfikir untuk menulis persepsi yang kupunya tentang diriku. Tapi itu hanya 'Persepsi' yang tertanam dari pandangan orang lain tentang diriku. Lalu, bagaimana dengan aku yang sebenarnya? Bagaimana memahami jalan pikirku, mengetahui keinginanku, dan perasaanku yang sebenarnya? Aku ingin menulis hal yang sedikit demi sedikit kupelajari sembari mencari jawabannya. Menemukan diriku, berdamai dengan diriku, dan mencintai diriku.
0 comments